Senin, 15 Mei 2017

The Last Chocolate (Extra Part)

Extra part...
Anggap saja epilog. Namun karena tidak ada prolognya maka janggan dianggap epilog. Anggap saja extra part karena ini memang extra part.
Oke, abaikan yang diatas.
Langsung saja, ini extra part dari Cerita "The Last Chocolate"
Hope you enjoy it^^

.


.


.
4 tahun kemudian...

《14 Februari 2021, 10:35》
《Westwille Burial Ground》

'Helena, apakah kau mendengarkanku sekarang? Bagaimana keadaan disana?' Ucapku dalam hati. Berharap gadis itu mendengarku.

Sudah 4 tahun berlalu sejak ia pergi. Kepergiannya menorehkan luka yang cukup dalam di dalam diriku dan Vivianne. Bahkan Vivi sempat absen selama seminggu setelah kepergian Helena.

Baru kuketahui sekarang kalau penyebab kematiannya adalah suatu penyakit langka. Saat ia dinyatakan sehat oleh dokter, sebenarnya itu hanya bualannya saja agar dapat mrngikuti pentas. Dan... ternyata ia adalah anak dari Ms. Devi Rowenn, tetapi ayahnya menceraikan ibunya karena suatu hal. Tenyata Helena mempunyai banyak rahasia yang tidak kuketahui.

Hampir setiap satu bulan sekali aku mengunjungi makamnya. Terkadang aku bertemu ayah atau ibunya. Terkadang juga bertemu dengan Vivi. Terkadang aku melihat guru atau teman sekelasku sedang mengunjungi makam Helena. Berkali-kali Vivi mengingatkanku agar jangan terlalu bersedih, namun bagaimana lagi? Aku benar-benar tidak bisa melupakannya.

Namun hari ini, aku bertekad untuk tidak lagi terlarut dalam kesedihan. Aku ingin seperti Vivi yang tidak terlarut dalam kesedihannya. Aku harus mencobanya.

"Helena," panggilku. Kalau ada orang yang melihatku sekarang, mungkin mereka akan mengataiku gila karena berbicara dengan makam, "mulai sekarang, aku tidak bisa sering-sering mengunjungimu. Aku tidak mau kau terbebani dengan kesedihanku. Kalau kau masih ragu aku merelakanmu atau tidak, maka jawabanku aku sudah merelakanmu pergi." Aku menyelingi ucapanku dengan helaan napas, "Huff... Beristirahatlah dengan tenang disana, Red Riding Hood."

Aku pun bangkit. Perasaan rindu masih menyelimuti diriku. Namun segera kutepis, dengan harapan ia akan beristirahat dengan tenang jika aku tidak terlalu mengingat kepergiannya. Aku pun berbalik dan berjalan meninggalkan makamnya.

Angin hangat berhembus dibelakangku. Aku hanya tersenyum dan kembali melanjutkan jalanku.

.

.

(3rd person's pov.)
《10:55》
《Taman kota》

Pemuda bertubuh jangkung itu memutuskan untuk duduk di sebuah bangku taman. Pandangannya mengarah ke arena bermain anak-anak. Terdapat satu anak yang menarik perhatiannya (note: Ryan bukan pedo!!!). Rambut pirang anak itu sama persis dengan rambut milik'nya'. Belum lagi manik indigo anak itu.

Ryan pun memutuskan untuk mendekati anak itu, menanyakan identitas anak yang mungkin terpisah dari orang tuanya. Ia pun berjongkok di hadapan anak perempuan itu.

'Caranya menatapku juga sama,' batin Ryan. "Halo, apakah kamu terpisah dari orang tuamu?" tanya Ryan, seramah mungkin. Lawan bicaranya mengangguk singkat. Ryan menyunggingkan senyumnya, "Siapa namamu, gadis kecil?"

"Elena!" jawabnya. Ryan pun mengusap puncak kepala anak itu. Elena tertawa kecil.

"Mau kakak bantu mencari orang tuamu?" tanya Ryan. Elena mengangguk lagi. "Ayo kita ke pos penjaga, Helena--maksudku Elena!" ajak Ryan. Pemuda itu mengulurkan tangannya. Elena hanya menggenggam jari telunjuk Ryan, karena tangan pemuda itu terlalu besar untuk ukuran tangan Elena yang mungil. Keduanya pun berjalan beriringan ke pos penjaga taman.

.

.

.

'Akhirnya, kita bertemu kembali, Helena.'

.

.

.

Finish

.


.


.

Untuk cerita yang lain, kunjungi akun wattpad saya

https://www.wattpad.com/user/Lala_ladya7
atau
https://www.wattpad.com/user/KiyomizuAmaya7

Awas kalo sampai di-copas!!!!

The Last Chocolate (part 2)

Lanjutan dari post sebelumnya
Hope you enjoy it^^

.


.



.

《02:45》

"Permisi, apakah ada pasien bernama Helena Jouvelin?" tanya Ryan begitu sampai di meja perawat yang sedang shift malam. Perawat itu mencheck daftar dan mengangguk.

"Ia sedang dirawat di ruangan Rose 3," jawab sang perawat.

"Maaf, dimanakah ruangan tersebut?"

"Anda tinggal berjalan lurus dari sini. Kemudian di ujung, belok ke kanan. Lurus saja dan anda sampai di ruang Rose. Lalu, cari Rose 3."

"Terima kasih."

Tanpa basa-basi lagi, Ryan langsung melesat untuk mencari ruangan dimana Helena dirawat. Sesampainya di sana, terlihat ayah Helena, James Jouvelin, yang sedang duduk di luar ruangan. Ryan pun memperlambat langkahnya dan menyapa ayah Helena, dan dibalas.

"Nak, apakah kau ingin menjenguk Helena?" tanya ayah Helena. Ryan mengangguk pelan.

"Iya paman. Apakah Helena bisa saya jenguk?" tanyanya setelah menjawab peryanyaan dari ayah Helena. Bapak itu mengangguk, lalu kembali menerawang kegelapan malam.

"Masuk saja." suruh ayah Helena. Ryan mengangguk dan membuka pintu ruangan Rose 3.

"Helena...ah, maafkan aku," kata Ryan saat mengetahui kalau Helena sedang tidur. Vivianne menatap Ryan dengan mata sembab.

"R-ryan... Le-Lena..." isak Vivianne. Tanpa ia sadari, ia sudah memeluk Ryan. Pemuda bertubuh jangkung itu sebenarnya kaget, tetapi ia menyembunyikannya dan berusaha menenangkannya.

"Sudah... sudah, Helena pasti baik-baik saja. Jangan khawatir."

"No 'but's. Magic will happens if you believe in it. So...believe her," kata Ryan bijak. Vivianne pun mengangguk dan melepaskan pelukannya.

"Terima kasih. Aku jadi merasa lebih lega," sahut Vivi saat ia mulai tenang. Ryan pun melempar senyumnya.

Kedua remaja itu tidak ada yang menyadari bahwa Helena sudah sadar sedari tadi. Beberapa saat kemudian, tangan gadis ini menyenggol suatu benda yang ada di tempat tidurnya hingga terjatuh, sehingga Vivi menoleh ke arah Helena.

"Helena, kau sudah sadar?!" pekik Vivi bahagia. Ia pun mendekati tempat tidur Helena dan menyentuh tangannya yang tidak diinfus.

"A..yah..." gumam Helena.

"Aku akan panggilkan paman James!" Kata Ryan sembari keluar. Vivi mengangguk.

"Tolong tunggu sebentar, Lena. Ayahmu pasti akan segera datang dan menemuimu."

Tak lama kemudian, masuk seorang pria bermantel cokelat. Vivi pun mengambil beberapa langkah mundur, membiarkan kedua ayah dan anak itu bertemu. Ryan juga hanya menatapnya dari sofa.

"A...yah...," gumam Helena.

"Helena...mengapa kau menjadi seperti ini?" gumam ayanhnya. Nampak mata Helena berkaca-kaca. Ayahnya pun sama.

"Ma...af, yah..."

"Vivianne, apa sebaiknya kita keluar dulu? Kita tidak bisa melanggar privasi mereka," kata Ryan mengingatkan. Vivi hanya mengiakan.

《Di luar》

"Vivianne, boleh aku bertanya?" tanya Ryan. Vivianne mengangguk. Pemuda itu mengarahkan pandangannya ke arah luar sebelum bertanya, "Mengapa ibu Helena tidak datang?"

"Itu... privasi. Aku tidak berhak menjawabnya." Tegas Vivianne. Ryan mengangguk paham.

"Baiklah, aku paham," balas pemuda itu. Tiba-tiba, pintu ruangan Helena terbuka. Sosok ayahnya Helena pun keluar.

"Aku menitipkan penjagaan Helena kepada kalian berdua, tolong jaga ia sebaik mungkin," pesan James kepada Vivi dan Ryan. Vivi mengangguk, bola matanya kembali berkaca-kaca.

"Baiklah paman, kami akan menjaganya," jawab Ryan. Ayah Helena pun tersenyum singkat lalu berbali dan meninggalkan ruang Rose.

"Aku...takut. Bagaimana jika Helena..-"

"Sshh... kau tidak boleh berbicara tentang itu ketika kau sedang menjenguk orang sakit," Tegur pemuda bersurai coklat tersebut, "Sebaiknya kita masuk dan menjaga Helena di dalam."

Kedua orang itu pun masuk ke dalam ruangan Helena. Terlihat Helena yang masih terbaring, dan masih mengenakan alat bantu pernapasannya. Vivi segera mendekatinya.

"Lena? Kau sadar?"

"Vi...vi?" gumam gadis yang masih terbaring. Beberapa tetes air mata keluar dari manik indigo-nya, "maaf..."

"Tidak apa-apa! Selama kau baik-baik saja, aku akan selalu bahagia! Jangan meminta maaf kepadaku, akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu karena tidak bisa menjadi teman yang baik!" cerocos si surai scarlet. Helena tersenyum.

"Vivi adalah... teman... yang baik," balas Helena, "ja...ngan me...minta maaf," lanjutnya.

"Ryan, hormati temanmu ini! Jangan menyendiri di sana dan sapalah Helena!" suruh Vivianne galak.

'Galak-nya kambuh' tukas Ryan dalam hati. Ia pun berjalan mendekati Helena, "Hai Helena."

"Ryan...-"

"Ah, sudah hampir pukul lima. Aku harus pulang dan masuk sekolah. Hari ini kita latihan. Tetapi aku akan mengizinkan kalian untuk hari ini," kata Ryan tiba-tiba, "kalau begitu, permisi."

Tanpa basa-basi lebih lanjut, Ryan langsung melesat keluar. Pintu pun tidak ditutup dengan perlahan, sehingga menimbulkan sedikit bunyi debaman yang sedikit keras. Dan hal itu menimbulkan tanda tanya besar pada kedua gadis itu.

《16:50》
《Auditorium》

"Ryan," panggil seorang gadis bersurai dark blue bernama Myra. Ryan pun menolehkan wajahnya ke arah gadis itu.

"Ada apa?"

"Tolong bawakan kostum ini pada Helena. Sampaikan salamku agar ia cepat sembuh," kata Myra sembari menyerahkan suatu bungkusan. Ryan mengangguk.

"Oke, terima kasih, Myra," ucap Ryan. Pemuda itu pun keluar dari audit, bersamaan dengan beberapa murid yang juga dari kelasnya.

《17:10》

"Helena, ini aku." Ryan berkata sembari membuka pintu. Tidak ada sahutan seperti yang biasa Helena lakukan. Ia terperangah begitu melihat Helena yang sedang melakukan monolog di kursi rodanya, sembari menatap keluar.

"Oh tuan serigala, mengapa dunia tidak adil? Mengapa aku tidak diperbolehkan menemuimu?" Ucap Helena.

"Itu sudah menjadi bagian dari takdir kita, Red riding Hood. Tetapi aku yakin, dunia tidaklah sejahat yang engkau bayangkan," balas Ryan, dengan dialog-nya. Dapat ia lihat, Helena membalikkan kursi rodanya, dan gadis itu terkejut. Ryan tertawa kecil, "Apa aku mengejutkanmu?"

"Sangat, Ryan," jawabnya. Sejenak, Ryan dapat merasakan kekesalan Helena. Pemuda itu menaruh kostum Helena di kursi.

"Maafkan aku, tetapi kau mengucapkan dialog-mu dengan baik," puji Ryan. Entah bayangan Ryan saja atau memang benar terjadi, pipi Helena merona merah.

"T-terimakasih," balas Helena gugup. Ya, Gugup.

"Lenaaa!!! I'm coming!!!" Teriak seorang gadis dari luar. Mendengar dari suaranya, kedua remaja di dalam ini tahu siapa yang ada di luar.

"Gawat."

"Ryan, bersembunyilah dibawah kasurku. Aku tidak ingin mendengar pertengkaran kalian berdua," perintah Helena. Ryan pun segera melakukannya.

"Helena! Kau baik-baik saja selama kutinggal?" tanya gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Vivianne. Helena mengangguk pelan.

"Tentu saja."

"Ngomong-ngomong... apa kau ada melihat ketua kelas lakna--maksudku ketua kelas siala-- tidak, Ryan Terry?" tanya Vivi geram. Helena menggeleng. Vivi pun mengeluarkan tawa jahatnya dan mulai menendangi kaki kasur pasien.

"Kalau kasur ini rusak, biar aku yang menggantinya," gumam Vivi jahat.

"Hei, sudah. Aku menyerah!"

Dan begitulah. Vivi selalu bertengkar dengan Ryan. Dan akhirnya dilerai oleh Helena. Itu terjadi hingga H-1 pentas atau tepatnya pada tanggal 13 Februari, dimana Helena dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang oleh dokter.

《13 Februari 2017, 15:15》
《Gymnasium》

"Hari ini kita akan melakukan gladi bersih. Sementara kita akan memakai Gym untuk berlatih karena auditorium sudah disterilkan untuk kegiatan esok hari," kata Ryan kepada teman sekelasnya, "Untuk Helena, aku yakin kau sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Jadi jangan ragu untuk mengeluarkan kemampuanmu."

"Baik."

"Ayo kita kerahkan kemampuan kita!" Koor Ryan. Semuanya mengiyakan.

~•~•~•~•~•~•~

"Aku...menyukai tuan serigala," ucap Red riding Hood. Sang Werewolf yang sedang berada dalam wujud manusia itu terkejut.

"Ketahuilah, Red hood, aku pun menyimpan perasaan yang sama kepadamu. Tetapi, aku terlalu pengecut untukmu," ujar sang serigala.

"Biarlah, aku tak peduli. Aku juga tidak sempurna, tuan serigala. Aku tidak peduli karena cinta saling melengkapi,"

~•~•~•~•~

"Oh, mengapa dunia ini begitu kejam? Mengapa takdir mempermainkanku seperti ini?" Red Riding hood berkata. Pendangannya menerawang ke langit-langit rumahnya.

~•~•~•~•~

"Terimalah cokelat ini. Aku akan selalu mengingatmu sebagai penyelamatku, tuan serigala."

"Hm-hm...selamat tinggal, Red hood."

~•~•~•~•~•~•~

"Kerja bagus, semuanya!" Kata Ryan seusai gladi bersih. Banyak yang memujinya karena kerja kerasnya. Tetapi, saat itu, otaknya tidak berada di sana.

"Lena, kau baik-baik saja?"

"Sedikit pusing tapi biarlah."

《14 Februari 2017, 10: 26 》
《Auditorium》

"Marilah kita saksikan drama 'Red Riding Hood and the Werwolf'!"

~•~•~•~•~•~•~
Last Scene

"Tuan serigala!" Panggil seorang gadis dari kejauhan. Pemuda yang merupakan jelmaan dari serigala itu menoleh. Matanya menyiratkan kerinduan mendalam. Pemuda itu tetap bergeming di tempatnya.

'Red Riding hood... maafkan aku.' Batin sang serigala. Ia menunggu hingga gadis itu berjarak kurang dari satu meter di hadapannya. "Selamat siang, Red Riding Hood. Akhirnya kita bertemu lagi."

"Ya. Apakah kau baik-baik saja?" tanya sang gadis. Pemuda itu hanya membalas dengan anggukan.

"Kau sendiri? Apakah kau baik-baik saja?" sang werewolf bertanya. Gadis itu menatap pemuda itu, seolah ingin berkata 'aku-baik-baik saja, jangan-pergi'. Sang pemuda hanya bisa tersenyum pilu. Tiba-tiba, gadis itu merogoh saku roknya dan menyerahkan sebuah bungkusan.

"Umm... terimalah cokelat ini. Aku akan selalu mengingatmu sebagai penyelamatku, tuan serigala," ucap sang gadis bertudung merah sembari menyerahkan sebungkus cokelat. Bola matanya berkaca-kaca. Sebelum menjawab, sang serigala memberikan sebuah pelukan singkat, namun mampu menenangkan Red hood.

"Hm-hm...selamat tinggal, Red Riding hood." Setelah mengatakan hal tersebut, tuan serigala pun menerima cokelatnya dan pergi. Sang gadis hanya bisa meratapi kepergian tuan serigala dari jauh.

End.
~•~•~•~•~•~•~

BRUKK...

"Helena!" Seru pemuda bersurai Ryan, "Tolong, panggil ambulans!" Teriak Ryan. Entah mengapa, setelah tirai merah diturunkan, Helena terjatuh. Hidungnya mengeluarkan darah. Vivi yang juga terkejut langsung menghampiri Helena dari kursi moderator.

"Helena!"

Tidak lama kemudian, datang beberapa orang dengan membawa tandu. Mereka mengangkat Helena dan tidak lupa menghentikan pendarahan pada hidungnya. Ryan dan Vivi memutuskan untuk ikut dengan kru ambulan ke rumah sakit.

《11:45》
《Depan Ruang UGD》

"Maaf, apa ada salah seorang di sini yang merupakan keluarga dari saudari Helena?" Vivi menggeleng.

"Saya walinya, menggantikan orang tuanya dokter. Apa yang terjadi padanya, dokter?" Tanya Ryan seelah memberikan pernyataan palsu bahwa ia adalah wali helena. Sang dokter menggeleng, mungkin dokter tahu bahwa Ryan berbohong.

"Tidak bisa, saya harus menyerahkannya secepatnya kepada keluarganya," jawab sang dokter.

Dari kejauhan, terlihat seorang wanita karier yang terlihat masih muda mendatangi mereka. Saat dilihat lebih lanjut, ternyata beliau adalah Ms. Rowenn. Pelupuk matanya terlihat basah dan sembab.

"Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" tanya beliau. Ryan tampak sangat terkejut sementara Vivi hanya bisa diam memperhatikan, sambil seeekali menyeka air mata yang tertumpah.

"Maaf bu, kami sudah berusaha keras untuk menyelamatkan anak anda, tetapi nyawanya tidak terselamatkan. Maafkan kami, bu. Selebihnya mari kita bicarakan di dalam." Ajak sang dokter.

"Le-lena meninggal?! Tidak, itu tidak mungkin! Lena!" Vivi tampak sangat terkejut. Ia langsung menerobos masuk ke dalam ruang itu. Tampak seorang gadis yang tubuhnya diselimuti kain putih. Vivi pun menyibak kain itu perlahan. Dan pupus harapannya ketika melihat wajah Helena yang pucat.

"LENA!!!"

"Vi, sabar. Relakan kepergiannya." Ryan menenangkan. Suaranya bergetar. Ia juga terpukul karena peristiwa ini. Padahal baru saja ia merasa senang karena cokelat dan surat yang diberikan Helena saat pentas tadi, sekarang menjadi sangat terpukul karena kematian gadis yang ia sayangi secara mendadak.

Surat? Oho, ia belum mengetahui isi surat tersebut. Langsung saja ia membuka surat yang terselip dalam bungkus cokelat yang diberikan oleh Helena di panggung. Air mata tak kuasa ia bendung saat menbaca surat itu.

--------------•••••---------------

Selamat Ulang Tahun, Ryan.

Aku tahu ini terlalu cepat sehari, tetapi aku harus memberinya sekarang. Kurasa aku tidak bisa menemanimu saat kau berulang tahun nanti. Maaf ya...
Bagaimana rasa coklat yang kuberikan? Kuharap itu manis. Semanis dialogmu dalam naskah^^

Ryan, aku ingin mengucapkan terimakasih karena selama ini kau sudah perhatian denganku. Maafkan aku karena tidak bisa membalas kebaikanmu. Aku sayang kamu--tidak, aku mencintaimu. Maafkan diriku yang terlalu cepat meninggalkanmu.

Pesanku hanya satu, jagalah Vivi. Gadis itu hanya berpura-pura terlihat kuat, padahal ia sangatlah rapuh. Sekali saja kau membuatnya menangis, maka kau tidak akan aku ampuni!

Kurasa cukup sampai di sini. Aku akan selalu mengawasimu dari sini. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi, Ryan.

Helena Jouvelin

--------------•••••---------------

"Helena... terimakasih atas semua waktunya. Aku akan selalu mengingatmu..." gumam Ryan.

.

.

.

Fin (?)

The Last Chocolate (part 1)

Halo^^
kali ini saya akan memost cerita buatan saya
Sebenarnya ini sudah saya post di akun wattpad saya, tapi saya post di sini lagi
Hitung-hitung meramaikan blog ini juga.
Baiklah langsung saja, inilah cerita saya
Hope you enjoy it^^

.

.

.

《4 Februari 2017, 07:35》
《Korridor menuju perpustakaaan》

"Helena!" Panggil sebuah suara maskulin di hadapan Helena. Gadis bersurai pirang keemasan itu perlahan mengangkat kepalanya, memandang wajah orang yang memanggilnya.

"Ryan, ada apa?" tanya Helena dengan polosnya. Pemuda itu terdiam sejenak. Pandangannya tertuju pada beberapa buah buku yang berada di dalam dekapan Helena.

"Kau.... Apa mungkin kau ingin ke perpustakaan?" Bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, Ryan malah melontarkan sebuah pertanyaan baru pada Helena.

Gadis itu mengangguk, "Benar." Ryan hanya bisa menghela napas. 'Bagaimana bisa gadis ini berpikiran sesingkat itu?' batinnya dalam hati.

"Kembalilah ke kelas. Ms. Rowenn sudah menunggu," suruh Ryan alias sang ketua kelas. Helena menghela napas pelan, pandangannya ia buang ke luar jendela.

"Apa peduliku. Kau, kembali saja ke kelas. Aku akan pergi ke perpustakaan," balas gadis itu dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya. Ryan pun membentangkan tangannya, menghalangi jalan Helena.

"Aku tidak akan membiarkanmu lewat, Helena, setidaknya sampai kau menjawab pertanyaanku,"

"Hm?"

"Mengapa kau tidak pernah masuk ke kelas sejarah? Mengapa kau selalu menghindari Ms. Rowenn?" tanya pemuda itu. Helena kembali menghela napasnya dan memandang pemuda bersurai brunette ini tepat ke matanya.

"Karena aku membencinya." Gadis itu pun kembali melanjutkan perjalanannya ke perpustakaan, meninggalkan Ryan yang masih diam dan mematung di sana.

.

.

.

《 07:45》
《Ruang kelas XI-B》

"Permisi," ucap Ryan sebelum membuka pelan daun pintu. Seorang wanita yang berdiri di depan kelas, memandangnya dengan penuh tanda tanya dalam otaknya

"Selamat datang Terry. Silahkan duduk." Suruh Ms. Rowenn. Ryan pun segera kembali ke bangkunya. Kemudian, Ms. Rowenn segela memulai pelajaran sejarah.

TIMESKIP《09:15》

"Baiklah, pelajaran hari ini cukup sampai di sini. Kelas bubar," ujar Mr. Steward. Seketika, kelas berubah menjadi pasar.

Sang ketua kelas segera merapikan bukunya dan beranjak pergi untuk mencari Helena. Tetapi sebelum semuanya terealisasikan, datanglah seorang gadis bersurai merah datang dan menggebrak mejanya.

"Hei, ketua kelas tidak becus. Dimana Helena?" Tanya gadis itu. Ryan menggeleng.

"Aku juga tidak tahu."

"Jangan berbohong ya! Kau pikir aku percaya dengamu hah?!" Gertak gadis itu.

"Vivianne, sebenarnya apa maksudmu membentakku begini? Kau pikir ini sopan ya?" tanya Ryan yang mulai kesal.

"Ah, sudahlah! Ayo." Ajak sang gadis. Ryan terheran-heran atas ajakan gadis ini. Gadis itu mendecih, "Ayo kita cari Helena! Dasar siput!"

"Tidak usah diperintah pun aku tahu." Pemuda ini pun melenggang seenak dengkulnya. Vivianne pun berlari mengejar pemuda bersurai cokelat tersebut dengan kecepatan maksimal.

《Di lorong depan UKS》

"Tunggu, jangkung. Helena bisa saja berada di UKS," sahut Vivianne alias Vivi. Gadis itu menambahkan, "Akhir-akhir ini, ia selalu mengeluh tidak enak badan."

"Lalu, tunggu apalagi? Cepat masuk."

"Tch, tidak perlu menyuruhku!"

Gadis itu pun membuka perlahan pintu ruang UKS. Ia menapakkan kakinya ke dalam ruangan sunyi tersebut. Di kasur paling ujung terlihat tanda-tanda seorang sedang tidur di sana. Karena merasa yakin, Vivi pun mendekatinya.

"L-Lena?" Panggil Vivi. Sosok dibalik selimut itu tidak bergeming.

"Vi, bagaimana jika ia bukan Helena?"

"Perasaanku mengatakan bahwa ia adalah Helena. Minggir, aku akan menyibak selimutnya."

Dengan memberanikan diri, Viviane menarik pelan selimut yang menutupi sosok tersbut. Nampak sosok Helena yang sedang memejamkan matanya. Namun yang membuat Vivianne dan Ryan terkejut bukanlah sosok Helenam melainkan darah segar yang keluar dari hidungnya. Nampaknya ia pingsan tanpa menyadari bahwa ia mimisan.

"Ryan! Panggilkan guru atau siapapun itu! Lena!" Vivi menjadi panik. Diguncang-guncangnya tubuh kawannya itu. Tak lupa, dirabanya nadi pada pergelangan tangan Helena. Nadinya lemah. Air mata Vivi berlinang.

"Iya Mr, kami di ruang UKS! Tolong bantu teman saya!" Sayup-sayup terdengar percakapan Ryan dengan salah seorang guru melalui telepon.

《09:45》

"Vivianne, mari kembali ke kelas," Ajak pemuda bersurai brunette tersebut. Vivi menolak dan memilih untuk berdiam diri di UKS. Ryan menghela napas pelan.

"Kalau begitu, aku ke kelas. Kalau ada apa-apa hubungi aku atau guru petugas kesehatan," Ryan mengingatkan. Vivi tetap berdiam. Ryan kembali menghela napas.

Ketika Ryan berbalik, ia merasa seseorang menarik tangannya. Ia pun kembali menoleh ke belakang dan mendapati Vivi sedang memegang tangannya dan menatapnya.

"Apa menurutmu Helena baik-baik saja?" Tanya gadis itu. Ryan pun menjawab, dengan sebuah senyuman di wajahnya,

"Gadis itu pasti baik-baik saja. Aku yakin."

《5 Februari 2017, 09:30》
《Rumah Sakit Umum Westwille》

Pemuda itu terlihat ragu begitu melihat nama gadis yang tertera di pintu kamar tumah sakit nomor 40. Padahal ia sudah menyiapkan satu buket bunga dan satu keranjang buah untuk gadis dengan nama Helena Jouvelin tersebut. Dan kini, ia ragu untuk memasuki ruangan tempat Helena menginap.

Akhirnya, ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu berwarna cokelat yang senada dengan rambutnya itu. Tak lama setelah itu, pintu terbuka, menampakkan sosok seorang gadis bersurai merah kecoklatan.

"Ah, kau. Masuk." Katanya dengan nada dingin. Ryan pun mencoba mengabaikan kejutekan gadis itu dan masuk.

"Helena." Sapa Ryan begitu saja. Gadis yang disapanya hanya tersenyum kecil. Ryan pun berjalan ke samping tempat tidur Helena dan menaruh buket bunga dan sekeranjang buah pada meja di sebelah tempat tidur Helena.

"Terimakasih telah berkunjung, Ryan Terry."

"Sama-sama. Bagaimana keaaanmu, Helena?" Tanya Ryan. Helena tersenyum simpul, tetapi tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ryan menganggap itu sebagai 'baik'.

"Vivi, bisa tolong belikan aku minuman cokelat kaleng? Ada vending machine di lantai dasar."

"Baik, Lena!" Tanpa disuruh dua kali, Vivi langsung melesat kekuar kamar. Helena menghela napas dan kembali menatap Ryan.

"Yatto, futarikiri wa ne. Aku ingin meminta maaf karena aku bersikap seperti itu kemarin," kata Helena. Ryan mengangguk.

"Ya, tidak apa-apa," balas pemuda itu.

"Bagaimana dengan pentas kelas kita? Jangan bilang kau melupakannya, Ryan."

Wajah Ryan berubah menjadi pucat pasi. Padahal hari ini ia dengan kelasnya berencana akan mendiskusikan drama untuk pentas seni minggu depan. Ryan sebagai ketua kelas telah melalaikan tugasnya.

"Maafkan aku, aku benar-benar lupa akan hal itu. Tetapi aku sudah terlanjur membolos hari ini..."

"Pfft... saking khawatirnya denganku, kau sampai lupa bahwa hari ini hari libur? Kau ini lucu sekali..." tukas gadis bersurai pirang itu sembari tertawa kecil. Ryan hanya bisa menggaruk belakang kepalanya sembari tertawa hambar.

"Aku kembali Lena!" Ucap Vivianne. Di tangannya terlihat tiga kaleng minuman. Ia pun memberi satu untuk Helena dan melempar satu untuk Ryan. Gadis itu memalingkan mukanya sembari berkata pada Ryan, "Jangan salah sangka ya, aku memberimu karena aku tidak ingin dimarahi Lena!"

"Ah, terimakasih banyak. Apa aku harus menggantinya?"

"Tidak perlu. Terimakasih banyak Vivi,"

"Hei, sampai kapan kau ingin berada di sini? Kau mengganggu istirahat Lena tahu!"

"Kalau begitu... aku akan pulang. Sampai jumpa besok, Helena, Vivianne." Pemuda itu pun berjalan ke arah pintu dan keluar. Helena pun mengarahkan pandangannya ke arah Vivi.

"Vivi...-"

"Maafkan aku Lena... kupikir kau akan terganggu dengan adanya ketua kelas tidak bec--maksudku pemuda itu!" Kata Vivi sembari membungkuk di hadapan Helena. Helena hanya tersenyum kecil.

"Iya, baiklah. Tetapi..." putusnya, ia menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Jangan memusuhinya selama aku tidak berada di sisi kalian ya." Vivianne hanya mengangguk pelan.

《6 Februari 2017, 15:15》
《Ruang kelas XI-B》

"Baiklah, aku sudah menyeleksi beberapa naskah drama untuk pentas. Sekarang kita akan mengadakan undian untuk menentukan peran. Wakil ketua, tolong bantu aku," kata Ryan. Vivianne pun maju dan membantu Ryan.

《15:20》

Ryan dan teman-teman sekelasnya cukup terkejut, pasalnya yang terpilih menjadi pemeran utama dalam peran mereka adalah Helena Jouvelin. Ryan pun berdehem dan mengumumkan orang yang terpilih beserta peran yang didapat.

"Yang mendapat peran Red Riding Hood adalah Helena Jouvelin. Sang Wolf adalah Ryan Terry. Yang menjadi pemburu adalah Pierre Nelvin. Nenek Red Riding Hood adalah Amelia Quinn. Untuk peran pelengkapnya, silahkan lihat di papan tulis."

"Hah? Masa' iya si Helena itu yang menjadi pemeran utamanya?"
"Memangnya ia bisa apa?"
"Itu Hoki"
"Helena sama Ryan? Kalau Ryan sih aku yakin tapi kalau Helena? Nggak deh."
"Aku lebih baik-"

"Cukup!" Teriak wakil ketua kelas alias Vivianne Leisenberg. Semuanya langsung terdiam. Vivianne melanjutkan, "Awas saja sampai aku mendengar kalian membicarakan yang tidak-tidak tentang Helena." Gadis bersurai scarlet itu mengancam.

"Baiklah, Leisenberg, silahkan duduk di tempat dudukmu. Kuanggap semuanya setuju dengan peran ini. Lalu kita akan mendiskusikan tentang kostum dan tata panggung...." Mereka pun melanjutkan diskusi hingga hampir pukul lima sore.

《17:10》
《Rumah Sakit Umum Westwille》

"Helena, aku masuk." Pemuda bertubuh jangkung itu pun membuka pintu ruangan dimana Helena dirawat. Terlihat Helena yang sedang menatap keluar.

"Ah, Ryan. Selamat datang."

"Aku punya kabar, entah ini baik atau buruk. Kau mau mendengarnya?" tanya Ryan sembari mengambil tempat duduk di kursi. Helena pun mengalihan pandangannya ke arah Ryan.

"Baiklah."

"Kau mendapatkan peran utama dalam drama kelas kita. Kau akan menjadi Red Riding Hood," tukas pemuda tersebut.

"Oh, begitu... Lalu, siapa yang akan memerankan serigalanya? Apakah aku akan berakhir dengan dimakan serigala?" tanya Helena. Ryan menggeleng.

"Drama yang akan kita pentaskan ceritanya sedikit berbeda dengan cerita aslinya. Ini, baca saja naskahnya."

Pemuda itu pun membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku tipis yang bersampul sky blue. Judul 'Red Riding Hood' terpampang pada sampul buku tersebut. Helena menerima buku naskah itu dan langsung membacanya.

Beberapa menit pun berlalu. Helena menutup naskah tersebut lalu mengangguk, pertanda ia menyukai jalan ceritanya. Ryan merasa lega.

"Pengembangan alur yang baik. Cerita ini cocok untuk remaja seusia kita. Kurasa aku bisa memerankannya. Berbicara tentang peran, kau jadi apa?" tanya gadis itu. Manik indigo-nya menatap Ryan lekat.

"A-aku? Ak-aku mendapatkan peran s-serigala," jawab Ryan. Terlihat semburat pink pada pipinya, yang sangat jarang sekali terlihat. Begitu pula dengan Helena.

"S-selamat ya..."

"Kau juga..."

Terjadi awkward silence di antara mereka. Dan itu sangatlah tidak nyaman. Tiba-tiba, pintu terbuka, menampakkan sesosok gadis bersurai scarlet dengan kunciran dua. Yap, ia adalah Vivianne Leisenberg.

"Kenapa kalian tberduaan saja di sini?!" Interogasi gadis itu. Ryan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Helena hanya bisa menghela napas pelan.

"Ia hanya memberitahuku tentang pentas seni, Vivi. Jangan salah sangka terhadapnya," ujar Helena menenangkan Vivi.

"Hmmph! Baiklah aku percaya! Tetapi aku percaya karena mempercayai Lena, bukan kau!" Gadis Tsundere itu berkata sembari menunjuk muka Ryan.

"Baiklah, Helena. Ini sudah malam, aku harus pulang," sahut Ryan, "aku pulang duluan. Jaga diri kalian."

Pemuda bersurai brunette itu pun beranjak dari kursinya dan keluar ruangan tersebut.

《9 Februari 2017, 09:15》
《Ruang Kelas XI-B 》

"Teman-teman, aku minta perhatian sebentar." Sahut Ryan, tepat ketika Ms. Blanc keluar kelas. Pemuda itu pun berjalan ke depan kelas. Seisi kelas yang sedang kasak-kusuk itu pun terdiam, memperhatikan pemuda itu. Pemuda itu berdehem, "Aku ingin bertanya tentang persiapan tim pengurus kostum dan properti panggung. Ketuanya?"

Dua orang mengangkat tangan. Seorang gadis bersurai dark blue dan seorang pemuda berkacamata dengan surai hitam. Ryan pun menyuruh mereka maju dan bercakap-cakap dengan mereka berdua.

Tak lama kemudian, Ryan mengumumkan bahwa sepulang sekolah kelas akan fitting kostum pentas dan merencanakan penataan panggung. Semuanya setuju dan kembali melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda.

《15:10》
《Auditorium》

"Tim kostum silahkan menuju bagian barat auditorium dan tim properti dan dekorasi silahkan rencanakan penataan panggung. Setelah fitting kostum, aku akan membantu kalian," komando Ryan. Masing-masing pun mengerjakan tugas mereka.

.

.

"Etto... Myra, sepertinya bagian ini terlalu revealing..." gumam Helena kepada gadis di hadapannya. Ia menunjuk bagian bawah dari dress one-piece yang ia pakai,

"Wah, tidak kusangka kau secantik ini. Yup, sepertinya ini pas." Myra menggumam sendiri. Sepertinya ia tidak mendengar Helena.

"Myra-"

"Selanjutnya! Helena, sekaran kau boleh menghantinya dengan seragam, lalu kembalikan ke sini ya..." tukas Myra cepat. Helena hanya bisa mengagguk pasrah.

.

.

"Mengapa aku mendapatkan peran ini?!" Jerit Vivianne saat fitting kostum. Roselle, yang menangani kostum pohon hanya bisa terkekeh geli.

《16:30》

"Apakah semuanya sudah mencoba kostum masing-masing?" tanya Ryan. Semuanya mengangguk. Ryan pun melempar senyum tipisnya, "Oke, kerja bagus semuanya. Kita pasti bisa menampilkan yang terbaik dari kelas kita!"

Semuanya bersorak senang. Ryan pun mempersilahkan teman-temannya pulang. Stelah mengurus semuanya, ia pun pulang ke rumahnya.

《10 Februari 2017, 02:30》
《Kamar Ryan Terry》

KRIING... KRIING...

Dering handphone-nya membangunkannya. Dengan segera diangkat telepon itu.

"Selamat malam," sapa Ryan.

"Ryan gawat! Helena tidak sadarkan diri lagi. Ia dirawat di rumah sakit yang sama. Cepat datang!" Seru suara di sebrang, yang ia kerahui milik Vivi. Ryan yang panik langsung melesat ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Ia pun menymbar jaket dan celana Jeans kemudian melesat ke Rumah Sakit umum menggunakan motornya.

.


.


.
To be continued...